Sungai Penuh, Lensajurnalis.com- Dalam kerangka tata kelola sumber daya manusia aparatur sipil negara, idealnya pengambilan kebijakan publik didasarkan pada prinsip rekognisi terhadap kinerja, pengabdian, dan kontribusi nyata, bukan sekadar variabel administratif yang kaku. Namun, yang terjadi hari ini justru sebaliknya.
Ratusan guru honorer dan tenaga teknis non-PNS yang telah mengabdi lebih dari dua tahun — bahkan ada di atas 3 tahun— kini berada dalam posisi yang ironis: mereka disingkirkan dari mekanisme seleksi PPPK paruh waktu hanya karena sebelumnya memilih ikut seleksi CPNS. Padahal, baik CPNS maupun PPPK adalah dua jalur resmi dalam sistem ASN, yang semestinya tidak saling menegasikan pengabdian individu yang telah berlangsung jauh sebelum seleksi dilakukan.
Kebijakan ini menunjukkan cacat logika kebijakan (policy fallacy) yang serius:
Pertama, pengabdian yang terakumulasi secara faktual dan administratif diabaikan begitu saja karena satu keputusan administratif — mengikuti seleksi CPNS. Ini bentuk diskriminasi prosedural, bukan berdasarkan merit, tetapi berdasarkan "pilihan seleksi".
Kedua, pendekatan regulatif yang tidak fleksibel menciptakan paradoks kebijakan ASN, di mana individu yang justru menunjukkan motivasi tinggi (dengan mencoba jalur CPNS) malah dihukum dengan pengucilan dari PPPK, padahal keduanya adalah bagian dari reformasi ASN yang inklusif dan meritokratik.
Ketiga, kebijakan ini secara tidak langsung merusak semangat equal recognition dalam prinsip reformasi birokrasi, karena pengabdian guru dan tenaga teknis yang telah bertahun-tahun menopang pelayanan publik daerah menjadi tak bernilai hanya karena memilih jalur seleksi yang berbeda.
Secara sosiologis dan administratif, ini adalah bentuk pengingkaran institusional terhadap loyalitas struktural. Mereka hadir ketika negara kekurangan tenaga. Mereka tetap bekerja tanpa kepastian status. Namun, saat negara bisa memberi rekognisi dan kejelasan status, mereka justru didepak oleh kebijakan yang abai terhadap konteks lapangan.
Apakah ini wajah baru meritokrasi yang dijanjikan oleh reformasi ASN?
Jika benar demikian, maka kita sedang menyaksikan transformasi kebijakan publik yang memarjinalkan pengabdian, melemahkan keadilan prosedural, dan memproduksi ketidakpuasan struktural di tingkat akar rumput birokrasi.
Guru bukan sekadar pengajar. Tenaga teknis bukan sekadar operator sistem. Mereka adalah pilar pelayanan publik. Dan mengabaikan mereka sama saja dengan meruntuhkan fondasi negara.Dan apa nasib mereka di pemerintahan apakah dirumahkan atau diberhentikan tanpa reward?? (Meliya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar