Warisan Buruk PBSN di Ketapang dalam Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit - LensaJurnalis.com | Sumber Informasi Terkini

Breaking

Home Top Ad

Selasa, 27 Mei 2025

Warisan Buruk PBSN di Ketapang dalam Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

Keterangan Foto : Ilustrasi Binsar Tua Ritonga, penulis artikel. (Lensajurnalis.com/HN)



Ketapang, Lensajurnalis.com - Program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang diluncurkan sejak era Orde Baru menjadi tonggak awal ekspansi massif perkebunan kelapa sawit di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Di balik narasi pembangunan ekonomi dan janji peningkatan kesejahteraan rakyat, program ini justru meninggalkan jejak luka sosial, konflik agraria, dan ketimpangan struktural yang masih membelenggu petani serta masyarakat adat hingga hari ini.


Sejarah Awal PBSN di Kalimantan Barat


Masuknya PBSN ke Kalimantan Barat dimulai pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, beriringan dengan gelombang pertama investasi sawit yang difasilitasi oleh negara melalui berbagai regulasi, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), serta Instruksi Presiden dan kebijakan sektoral Kementerian Pertanian. Kabupaten seperti Sanggau, Landak, Sambas, dan Ketapang ditetapkan sebagai wilayah prioritas ekspansi karena dianggap memiliki "lahan tersedia" yang luas dan bertekanan populasi rendah.


Melalui skema ini, perusahaan-perusahaan besar memperoleh berbagai kemudahan: izin lokasi, pembebasan pajak, dan akses terhadap HGU dalam skala ribuan hektare. Sementara itu, masyarakat lokal yang secara turun-temurun mengelola lahan dianggap tidak sah secara hukum. Mereka hanya diberi peran sebagai “mitra” dalam skema plasma yang pada kenyataannya sangat timpang.


Pola Penguasaan Lahan dan Skema Inti–Plasma


Model inti–plasma dalam PBSN mengatur bahwa sekitar 80% lahan menjadi kebun inti milik perusahaan, dan hanya 20% disisihkan sebagai kebun plasma untuk masyarakat. Namun dalam praktiknya, perusahaan tetap memegang HGU atas seluruh areal, termasuk bagian plasma. Artinya, meski secara retoris disebut “hak masyarakat,” secara hukum dan administratif lahan plasma tetap dalam kuasa korporasi.


Kebun plasma biasanya dibangun oleh perusahaan menggunakan pinjaman dari bank (seperti KUR atau kredit koperasi) atas nama petani atau koperasi. Namun kendali penuh tetap berada di tangan perusahaan, termasuk dalam pengadaan bibit, pupuk, tenaga kerja, hingga penentuan biaya operasional. Petani tidak memiliki kendali atas keputusan penting ini.


Begitu kebun mulai menghasilkan, biasanya pada tahun ke-4 atau ke-5, hasil panen dari plasma langsung dipotong untuk melunasi utang pembangunan kebun, bunga bank, serta biaya teknis lain—yang kerap tidak dijelaskan secara transparan. Akibatnya, alih-alih menikmati hasil panen, petani justru terperangkap dalam utang selama satu hingga dua dekade. Skema ini mengubah posisi petani dari pemilik lahan menjadi penanggung utang kolektif, tanpa kejelasan hak dan masa depan.


Ketimpangan dan Manipulasi Kelembagaan


Di Ketapang, banyak koperasi plasma dibentuk secara top-down oleh perusahaan sebagai formalitas semata. Pengurusnya tidak dipilih melalui musyawarah demokratis, melainkan ditunjuk oleh perusahaan. Proses pelaporan keuangan, data panen, dan status utang juga kerap ditutup rapat dari anggota.


Lebih parah lagi, banyak koperasi plasma tidak memiliki legalitas kebun yang jelas, baik berupa HGU maupun Sertifikat Hak Milik (SHM). Bahkan lokasi fisik kebun plasma sering kali tidak diketahui pasti oleh anggotanya. Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan dalam kerangka PBSN tidak lebih dari struktur semu yang menguntungkan korporasi dan menindas petani.


Dampak Sosial dan Ekologis


Warisan PBSN bukan hanya soal ketimpangan ekonomi, tetapi juga kerusakan ekologis dan budaya. Peralihan hutan, lahan pertanian, dan wilayah adat menjadi kebun sawit telah memicu degradasi ekosistem, konflik dengan satwa liar, hingga krisis air bersih. Masyarakat adat kehilangan ruang hidup, identitas budaya, dan koneksi spiritual terhadap tanah leluhur mereka yang kini berubah menjadi zona industri.



Studi Kasus: Perampasan Lahan oleh PT Minamas di Desa Pelanjau Jaya, Kecamatan Marau


1. Kebijakan Agraria yang Pro-Korporasi


Pada masa Orde Baru (1967–1998), arah kebijakan agraria didesain untuk memfasilitasi investasi korporasi besar. Perkebunan sawit dikembangkan melalui pemberian konsesi lahan secara luas kepada PBSN dan perusahaan asing, tanpa menghormati hak-hak masyarakat adat atau petani lokal.


2. Mekanisme Perampasan Lahan


Kasus di Pelanjau Jaya mencerminkan pola umum perampasan tanah:


Perizinan dikeluarkan tanpa konsultasi publik yang bermakna.


Pola kemitraan dipaksakan dan tidak adil.


Aparat negara digunakan untuk mengamankan proyek dan menekan protes warga.



3. Dampak Langsung bagi Warga Pelanjau


Masyarakat Pelanjau kehilangan lahan garapan dan wilayah adat yang menjadi sumber utama penghidupan. Seiring masuknya perusahaan, mereka mengalami:


Pemiskinan struktural akibat hilangnya akses tanah.


Terbatasnya akses terhadap sumber daya alam.


Kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak-hak mereka.



4. Warisan PBSN dan Ketimpangan Agraria


Kasus Pelanjau adalah bagian dari gambaran besar ketimpangan agraria di Indonesia, di mana sebagian besar tanah dikuasai oleh segelintir korporasi, sementara petani dan masyarakat adat kesulitan mendapatkan pengakuan legal atas tanah mereka.



Jalan Keluar: Reforma Agraria dan Kedaulatan Petani


Untuk membebaskan masyarakat dari warisan buruk PBSN, tidak ada jalan lain selain reforma agraria sejati. Pemerintah harus:


Mengevaluasi dan meninjau kembali seluruh izin HGU hasil PBSN.


Melakukan redistribusi tanah kepada petani dan masyarakat adat.


Mendorong terbentuknya koperasi sejati yang demokratis dan transparan.



PW Serikat Tani Nelayan Kalimantan Barat mendorong pengembangan kebun sawit mandiri berbasis komunitas sebagai alternatif yang adil dan berkelanjutan. Sudah saatnya negara berpihak pada rakyat—bukan pada segelintir korporasi. Tanpa kedaulatan atas tanah, petani tidak akan pernah merdeka.



Penulis : Oleh: Binsar Ritonga , Ketua PW Serikat Tani Nelayan Kalimantan Barat. Binsar Ritonga aktif dalam advokasi petani sawit mandiri serta keadilan agraria di Kalimantan Barat,Ketapang 27 Mei 2025.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad