Gelombang Perceraian di Ketapang: Perempuan Jadi Pihak Terbanyak Menggugat, Anak-Anak Jadi Korban Senyap - LensaJurnalis.com | Sumber Informasi Terkini

Breaking

Home Top Ad

Kamis, 14 Agustus 2025

Gelombang Perceraian di Ketapang: Perempuan Jadi Pihak Terbanyak Menggugat, Anak-Anak Jadi Korban Senyap

Foto : Ilustrasi kasus penceraian (Lensajurnalis.com/HN)


Ketapang, Lensajurnalis.com— Di tengah aktivitas harian yang tampak biasa, Kabupaten Ketapang menyimpan fakta sosial yang mengkhawatirkan. Angka perceraian di daerah ini kini menjadi yang tertinggi di Kalimantan Barat (Kalbar), bahkan menyalip Kabupaten Sambas. Lebih dari itu, sekitar 80 persen gugatan perceraian diajukan oleh pihak perempuan.


Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Pontianak, H. Moch. Sukkri, mengungkapkan temuan tersebut saat penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Kalbar dan PTA Pontianak, Selasa (12/8/2025). “Sebelumnya Kabupaten Sambas yang tertinggi, sekarang sepertinya sudah disalip Ketapang,” ujarnya.


Di balik statistik ini, ada kisah nyata yang mencerminkan persoalan mendasar di masyarakat. Sebut saja Rini (bukan nama sebenarnya), seorang ibu dua anak di Ketapang yang memutuskan menggugat cerai suaminya setelah tujuh tahun menikah. Ia mengaku tak tahan lagi menghadapi tekanan batin dan ketidakpastian ekonomi.


“Awalnya saya ingin bertahan demi anak-anak. Tapi suami sudah lama tidak bekerja, dan sering pulang dalam keadaan mabuk. Saya capek jadi tulang punggung sendiri,” tutur Rini dengan mata berkaca-kaca. “Sekarang saya hanya ingin membesarkan anak-anak dengan tenang.”


Kondisi seperti Rini bukanlah kasus tunggal. Menurut Sukkri, banyak perempuan di Ketapang yang memilih perceraian karena faktor ketidakharmonisan rumah tangga, masalah ekonomi, hingga kekerasan dalam rumah tangga.


Warga setempat, S (45), mengaku prihatin. “Kalau dulu perceraian itu jarang. Sekarang kayaknya tiap minggu ada kabar tetangga atau kenalan pisah. Kasihan anak-anak, mereka yang paling rugi,” ujarnya.


Lonjakan perceraian ini bukan hanya angka di atas kertas. Ia membawa dampak sosial yang luas—anak-anak tumbuh tanpa figur lengkap orang tua, ekonomi keluarga terguncang, dan beban psikologis yang tak terlihat di permukaan.


“Kondisi ini perlu kita waspadai agar tidak semakin berkembang atau meningkat,” tegas Sukkri. (HN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad